Kegiatan YKM


acara buka puasa bersama H. Alex Noerdin (Bupati Musi Banyu Asin)

foto haul Kyai Marogan

Masjid Tua di Palembang

Selain Masjid Agung, ada beberapa masjid tua lain di Palembang yang didirikan pada masa Kesultanan Palembang atau setelahnya. Komponen arsitektur utama masjid-masjid itu umumnya menginduk kepada bentuk Masjid Agung, tetapi ukurannya lebih kecil. Beberapa masjid itu juga memiliki sejarah unik dan peran penting dalam pertumbuhan agama Islam di Palembang dan sekitarnya.

Masjid-masjid itu antara lain Masjid Muara Ogan, Masjid Lawang Kidul, Masjid Suro, dan Masjid Sungai Lumpur. Masjid Muara Ogan dibangun di sudut Sungai Ogan dan Sungai Musi, termasuk Kecamatan Kertapati, sekitar tiga kilometer dari pusat Kota Palembang. Saudagar Masagung Abdul Hamid, yang dikenal sebagai Kiai Muara Ogan, mendirikan masjid itu tahun 1889. Nama masjid merujuk pada sebutan Kiai Muara Ogan.

Masjid Lawang Kidul terdapat di Kelurahan 5 Ilir, di tepi Sungai Musi. Masjid ini juga didirikan Kiai Muara Ogan tahun 1881 dengan nama Masjid Mujahidin, tetapi kemudian lebih dikenal sebagai Masjid Lawang Kidul. Masjid Suro terletak di Kelurahan 30 Ilir, Kecamatan Ilir Barat II, sekarang bernama Masjid Mahmudiyah. Masjid ini didirikan Kiagus H Mahmud Khatib dan Kiai Delamat, murid Kiai Muara Ogan, tahun 1906.

Bentuk bangunan utama Masjid Muara Ogan, Lawang Kidul, Masjid Suro, dan Masjid Sungai Lumpur secara umum menyerupai bentuk Masjid Agung. Masjid-masjid ini juga menyerap budaya China, Jawa, Arab, Eropa, dan Palembang dalam bentuk yang padu.

Arsitektur Masjid Agung dan beberapa masjid lama di Palembang menawarkan bentuk-bentuk yang simbolik. Undak-undakan di pelataran dan di atap masjid, misalnya, melambangkan tarekat atau perjalanan manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah. Tingkat pertama merupakan syariah atau tahap penertiban amal perbuatan yang baik, sesuai dengan tuntunan agama. Tingkat kedua mencerminkan hakikat atau proses pencarian atas ruh yang tersimpan di balik perbuatan yang kasatmata. Tahap ketiga menjadi puncak perjalanan karena manusia telah mengalami maĆ¢€™rifat, mengenal hakikat Tuhan.

Bentuk undak-undakan senantiasa mengajak manusia untuk mengasah diri dengan menertibkan perbuatan, meraih makna, dan mengenal Tuhan. Tahap-tahap itu merupakan perjalanan spiritual yang tiada berakhir.

Pengembangan Pariwisata Kota Palembang

Oleh: Drs Mirza Fansyuri, M.Pd,
Dosen Sejarah FKIP & Universitas PGRI Palembang.

MENYIMAK aktivitas pariwisata Kota Palem-bang yang hanya mengandalkan kegiatan pariwisata unggulan dan bersifat insidental, menyebabkan lambannya perkembangan pariwisata. Sehingga, harapan meraih Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor ini sulit dicapai. Padahal, berdasarkan temuan penulis, ada begitu banyak potensi wisata yang dapat ditawarkan sebagai alternatif pengembangan pariwisata, antara lain:
l Benteng Kuto Besak
Gugusan ini meliputi kawasan Masjid Agung Sultan Mahmud Badaruddin II, Jembatan Ampera, Monumen Perjuangan Rakyat Sumatera Bagian Selatan (Monpera), Benteng Kuto Besak, Museum Sultan Mahmud Badaruddin II, Menara Air, kawasan kerajinan kayu khas Palembang di Jalan Fiqih Jalaludin dan Pasar 16 Ilir, Pasar Sekanak kawasan ini jika dikelola dengan profesional maka Palembang akan memiliki sebuah kawasan wisata terpadu.
Wisatawan dapat memulai aktivitasnya dengan memarkir kendaraan di kawasan Nusa Indah, kemudian dapat melakukan kegiatan sebagai berikut: Apabila kedatangan betepatan dengan waktu shalat bagi yang Islam, mereka dapat shalat di Masjid Agung Sultan Mahmud Badaruddin sambil menikmati keindahannya. Setelah itu mereka dapat mengunjungi Tugu Monpera, terus ke Museum Sultan Mahmud Badaruddin II, lalu menikmati keindahan Jembatan Ampera sambil melihat kesibukan masyarakat Palembang di Sungai Musi dari atas Jembatan Ampera.
Dari atas jembatan Ampera, wisatawan dapat terus menelusuri lorong-lorong yang ada dalam Benteng Kuto Besak (tentu saja Kondisi Benteng Kuto Besak dikembalikan dulu ke kondisi aslinya) agar dapat �dijual� kepada wisatawan, kemudian ke arah Barat menyusuri Jalan Sultan Mahmud Badaruddin atau berhenti di Dermaga Benteng Kuto Besak, dan melanjutkan kegiatan dengan wisata Sungai Musi. Bagi wisatawan yang meneruskan wisata ke Barat Benteng menyusuri Jalan Sekanak dapat mampir sejenak di Balai Pertemuan sambil menikmati berbagai makanaan khas Palembang, seperti pempek, model, tekwan, lakso, laksan, burgo, dan kemplang.
Selanjutnya meneruskan perjalanan dengan mengunjungi menara air, lalu memasuki kawasan Jalan Merdeka. Di sini wisatawan diberikan pilihan naik perahu ketek menyusuri Sungai Sekanak ke Selatan kemudian belanja di Pasar Tradisional Sekanak atau meneruskan menelusuri Jalan Merdeka ke Timur, terus jalan Faqih Jalaluddin, membeli souvenir khas Palembang.
Dari depan Benteng Kuto Besak wisatawan, yang ingin meneruskan perjalan ke Timur dapat mengunjungi pasar tradisional, yaitu Pasar 16 Ilir yang menyediakan berbagai barang-barang kebutuhan (apabila kondisi pasar tidak dapat dipertahankan tidaklah salah jika gedung Pasar 16 Ilir ini diubah menjadi hotel). Pada kawasan bawah jembatan Ampera dapat ditata untuk dijadikan counter atau bursa barang-barang kerajinan dari pengrajin kecil.
Kawasan Benteng Kuto Besak akan lebih berpotensi, jika dijadikan kawasan terpadu, bebas dari kendaraan bermotor. Pengunjung yang datang disediakan kendaraan berupa sepeda sewaan atau berjalan kaki.
l Bukit Siguntang
Gugusan ini meliputi Bukit Siguntang, Jembatan Musi II, Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya, masjid Al-Mahmudiah, kawasan kerajinan songket, Kelurahan 30 Ilir, 31 Ilir, 32 Ilir, dan Mushab Al Quran terbesar di dunia. Wisatawan dapat memulai aktifitasnya dari kawasan Bukit Siguntang. Di bukit ini terdapat makam-makam keramat yang konon kabarnya adalah asal-usul Puak melayu di Asia Tenggara, yaitu makam� Raja Segentar Alam (Hindu), Putri Rambut Selaka (Hindu-Budha), Putri Kembang Dadar (Islam), Panglima Bagus Karang (Islam), Panglima Bagus Kuning (Islam) Pangeran Raja Batu Api (Hindu, Budha), Pangeran Tuan Junjungan (Islam). Ketujuh makam ini adalah peninggalan kerajaan Sriwijaya.
Wisata Air
Gugus wisata air maksudnya adalah perjalanan wisata di Sungai Musi. Wisata air di Sungai Musi dapat dibagi menjadi dua paket, yaitu:
l Paket 1
Gugusaan wisata air paket 1 ini meliputi: Dermaga Benteng Kuto Besak, Pelabuhan 35 Ilir, Masjid Muara Ogan, Rumah Rakit, Perkampungan Islam Tionghoa, Dermaga 7 Ulu, perkampungan Kapiten. Wisatawan dapat memulai aktifitasnya dari Dermaga Benteng Kuto Besak, dengan menyewa perahu, disini perahu dapat dipilih sesuai dengan kebutuhan, waktu dan jumlah rombongan wisatawan dapat memilih perahu Getek, Speed Boat, Tongkang Wisata, Kapal Pesiar atau Jet Ski.
Dari Dermaga Benteng Kuto Besak wisatawan dapat menentukan ke arah mana yang dikehendaki. Kalau menurut penulis alternatif terbaik adalah sebagai berikut: Terlebih dahulu adalah mengunjungi Masjid Muara Ogan, disini wisatawan dapat berziarah ke makam Kyai Muara Ogan yang terletak di samping masjid dan melaksanakan shalat.
Setelah itu perjalanan diteruskan ke Dermaga 35 Ilir untuk mengunjungi pusat kerajinan Songket Palembang, kemudian menyusuri tepian Selatan Sungai Musi, melihat Rumah Rakit sambil berbelanja berbagai barang dan makanan khas Palembang yang dijual di rumah-rumah rakit. Menikmati pempek, model, tekwan diatas caeger-cage rumah rakut yang berayun-ayun diterpa gelombang Sungai Musi akan merupakan kenangan yang tak terlupakan. Bahkan kalau memungkinkan rumah rakit dapat dikembangkan menjadi Mall Terapung. Kalau potensi ini dikelola secara aprogesional Rumah Rakit dapat mengalahakan Clark Quay kawasan wisata sungai yang sangat terkenal di Singapura.
Dari Rumah Rakit wisatawan naik melalui Dermaga 7 Ulu lalu mengunjungi Perkempungan Muslim Tionghoa dan Perkampungan Kapiten, dua buah perkampungan budaya yang diharapkan akan menjadi pesona tersendiri dari segi antropologi. Kemudian wisatawan dapat kembali ke Dermaga Benteng Kuto Besak untuk kemudian beristirahat di hotel atau penginapan di sepanajang jalan Merdeka atau ke hotel bekas pasar 16 Ilir yang legendari di tepi Sungai Musi.
l Paket 2
Gugusan wisata air paket 2 ini meliputi: Dermaga Benteng Kuto Besak, Pelahuban Boom Baru, Masjid Lawang Kidul, Perkampungan Arab 14-15 Ulu, dan Pulau Kemaro. Wisatawan dapat memulai aktifitasnya dari dermaga Benteng Kuto Besak dengan memilih jenis perahu yang akan dijadikan kendaraan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi seperti telah dikemukakan di atas.
Dari Dermaga Benteng Kuto Besak wisatawan dapat mengunjungi pelabuhan Boom Baru, kemudian mengunjungi masjid Lawang Kidul melihat keunikan arsiteknya dan shalat, lalu menyeberang mengunjungi perkampungan budaya yaitu Perkampungan Arab 14-15 Ulu, berbelanja souvenir, menikmati hentakan kaki penari dzafin.
Dari beberapa alternatif di atas apabila dilakukan dengan kesungguhan, bukan mustahil untuk dapat diwujudkan. Ditambah dengan program pariwisata yang ada, maka dinamika pariwisata di Kota Palembang akan lebih representatif. Barangkali bukanlah suatu �dosa� bagi pemerintah Kota Palembang untuk menggandeng pihak swasta menanamkan modalnya di sektor pariwisata.
Salah satu strategi pengembangan pariwisata di Kota Palembang adalah menjadikan pariwisata sebagai mata pelajaran muatan lokal, sebagai sarana sosialisasi semua kebijakan tentang pariwisata, sejak Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Umum.

Makna Peninggalan Arkeologi dari Masagus Haji Abdul Hamid bin Masagus Haji Mahmud

Oleh : Mujib

Masagus Haji Abdul Hamid dilahirkan di kampung 5 Ilir, Palembang pada kurang lebih tahun 1811 M. Ia anak Masagus Haji Mahmud alias Kanang, seorang keturunan bangsawan Palembang yang menikah dengan seorang wanita Cina. Beliau termasuk salah seorang ulama yang gigih dan tekun menyiarkan agama Islam. Disamping mengajar di Masjid Agung Palembang sekaligus Imam, ia juga seorang yang andal dalam menguasai hukum Islam, ilmu Falaq, ilmu tentang peredaran bintang dikuasainya dengan baik.

Ide dan gagasan yang begitu cemerlang itu diwujudkannya dalam karya yang menghsailkan berbagai tinggalan arkeologi yang sangat bermanfaat bagi kemajuan Islam di masa-masa kemudian, diantaranya adalah Masjid Mujahiddin di Lawangkidul, Masjid Jami Kiai Haji Masagus Abdul Hamid bin Mahmud di Muara Ogan, Naskah daftar surat-surat yang dibaca pada waktu sholat wajib lima waktu (Naskah I), Naskah jadwal waktu sholat wajib lima waktu (Naskah II), Naskah perpaduan antara Naskah I dan Naskah II. Berdasarkan peninggalannya-peninggalan tersebut dapat diambil suatu makna bahwa Masagus Haji Abdul Hamid adalah seorang yang mempunyai dan menguasai kemampuan dan strategi dakwah Islam. Bagi umat Islam Palembang seluruh tinggalan Masagus Haji Abdul Hamid dianggap sebagai rahmat tersendiri sebagai sarana dan wahana peribadatan dan pengembangan nilai-nilai keislaman.

masjid marogan


Masjid ini dibangun lebih dahulu daripada Masjid Lang Kidul. Pada masa lalu, daerah tempat berdirinya masjid dengan atap bertumpang dua dan puncak mustaka -?sama dengan Masjid Lawang Kidul?ini bernama Kampung Karang Berahi. Apakah memang karakter lokasi masjid pada zaman itu ataukah memang kekhasan Kiai Merogan, masjid ini terletak di muara Sungai Ogan ke Sungai Musi. Jika diamati, posisinya yang demikian, juga ketinggian tanah yang lebih dibanding lahan sekitarnya itu sama persis dengan Masjid Lawang Kidul. Letaknya sekitar 13 meter dari Sungai Musi dan 75 meter sebelah selatan Sungai Ogan. Penamaannya diambil dari nama julukan bagi ulama besar Palembang yang bernama lengkap Kiai Haji Masagus Abdul Hamid bin Mahmud. Ukuran asli masjid ini ?sebelum dilakukan renovasi dan perluasan?adalah 18,8 m X 19,4 m. Sama seperti Masjid Lawang Kidul dan Masjid Sungai Lumpur, bangunannya disangga empat saka guru berbentuk persegi delapan berukuran 0,3 X 0,27 m. Tingginya mencapai 5 meter. Saka guru dikelilingi dua belas tiang penunjang setinggi 4,2 meter dan besar 0,25 m x 0,25 m. Bagian-bagian masjid sebagian besar masih asli. Antara lain, saka guru dan 12 tiang penunjangnya, rangka bangunan atap, langit-langit, dan kuda-kuda. Mimbar khas masjid ini juga masih menampakkan keaslian, baik bahan maupun hiasannya. Di samping itu, beduk yang digunakan hingga sekarang ?berukuran panjang 2,5 m dan berdiameter 0,8 meter. Meskipun terletak di tanah yang lebih tinggi dibandingkan lahan sekitarnya, menurut keterangan masyarakat dan keluarga sang ulama, lahan masjid ini awalnya adalah lebak. Kemudian, saat masjid didirkan, dilakukan penimbunan hingga tanahnya mengeras. Sedangkan makam Kiai Merogan (wafat tahun 1882 M), terletak di sebelah kanan masjid. Makam dengan ukuran 1,75 meter dan lebar 0,82 meter ini, sampai sekarang masih sering dikunjungi peziarah.

mimbar masjid marogan