Masjid Peninggalan Kiai Marogan; Objek Wisata Mendukung Visit Musi 2008


"Bagi penganut agama Islam di Sumatera Selatan
Khususnya di Palembang keberadaan Masjid Kiai Marogan
jadi bukti kebesaran Ilahi dan wisata sungai yang menakjubkan"

Oleh: Masagus Ahmad Fauzi, S.Pd., MM. (Ketua Yayasan Kiai Marogan Palembang)

Keberadaan Masjid peninggalan Kiai Marogan Palembang sebagai salah satu kawasan wisata religi di Indonesia khususnya Sumatera Selatan sudah tak terbantahkan lagi. Pamor Masjid Jami’ Muara Ogan dan masjid Lawang Kidul, yang telah diwakafkan untuk umat Islam ini, mampu mengundang ribuan pengunjung dari dalam maupun luar kota Palembang, seperti Lampung, Jambi, Jakarta dan Pulau Jawa. Tak jarang pada momen-momen khusus seperti hari Jum’at, pada bulan Sya’ban dan pada saat peringatan Haul Kiai Marogan pada Bulan Rajab, pengunjung lebih banyak dari biasanya. Mereka datang ada yang sekedar sholat berjama’ah, I’tikaf, ataupun berziarah ke makam Kiai Marogan yang terletak satu kompleks dengan Masjid. Di antara yang datang itu mulai dari masyarakat biasa, para Alim Ulama, Pengusaha, bahkan pejabat seperti Walikota, Gubernur, tokoh politik Taufiek Kiemas, bahkan sebelum menjadi Presiden RI, sewaktu masih menjadi Pangdam II Sriwijaya, Bapak Susilo Bambang Yudoyono pernah sholat dan berziarah ke makam Waliyullah tersebut.
Masjid Jami’ Muara Ogan dan masjid Lawang Kidul merupakan masjid yang tertua setelah masjid agung di Palembang. Sebagai salah satu peninggalannya, Masjid Lawang Kidul hingga kini masih menampakkan kekukuhan dan kemegahan perkembangan Islam di kota ini. Hingga sekarang, masjid yang bangunan induknya memiliki luas lantai lebih kurang 20 X 20 meter itu, sebagian besar masih asli. Namun, terdapat bangunan tambahan sehingga luasnya saat ini menjadi 40 X 41 meter. Pemugaran dilaksanakan pada 1983-1987 lalu. Meskipun sebagian besar materialnya asli, ada beberapa bagian yang terpaksa diganti. Bagian yang diganti itu, terutama bagian atapnya yang semula genting belah bambu. Karena genting jenis itu tidak ada lagi, diganti dengan genting kodok. Konon, material bangunan itu terdiri atas campuran kapur, telur, dan pasir. Sedangkan bahan kayunya tiang, pintu, atap, dan bagian penunjang lainnya terbuat dari kayu unglen. Interior mesjid, juga masih menampakkan keaslian. Empat saka guru memiliki ketinggian delapan meter dengan 12 pilar pendamping setinggi lebih kurang enam meter. Kesemua tiang bersudut delapan. Empat alang (penyangga) atap sepanjang 20 meter juga terbuat dari unglen tanpa sambungan.
Masjid berikutnya ialah masjid Jami’ Kyai Marogan. Masjid ini dibangun lebih dahulu daripada Masjid Lang Kidul. Pada masa lalu, daerah tempat berdirinya masjid dengan atap bertumpang dua dan puncak mustaka--sama dengan Masjid Lawang Kidul--ini bernama Kampung Karang Berahi. Apakah memang karakter lokasi masjid pada zaman itu ataukah memang kekhasan Kiai Merogan, masjid ini terletak di muara Sungai Ogan ke Sungai Musi. Jika diamati, posisinya yang demikian, juga ketinggian tanah yang lebih dibanding lahan sekitarnya itu sama persis dengan Masjid Lawang Kidul. Letaknya sekitar 13 meter dari Sungai Musi dan 75 meter sebelah selatan Sungai Ogan. Penamaannya diambil dari nama julukan bagi ulama besar Palembang yang bernama lengkap Kiai Haji Masagus Abdul Hamid bin Mahmud. Ukuran asli masjid ini sebelum dilakukan renovasi dan perluasan adalah 18,8 m X 19,4 m. Sama seperti Masjid Lawang Kidul dan Masjid Sungai Lumpur, bangunannya disangga empat saka guru berbentuk persegi delapan berukuran 0,3 X 0,27 m. Tingginya mencapai 5 meter. Saka guru dikelilingi dua belas tiang penunjang setinggi 4,2 meter dan besar 0,25 m x 0,25 m. Bagian-bagian masjid sebagian besar masih asli. Antara lain, saka guru dan 12 tiang penunjangnya, rangka bangunan atap, langit-langit, dan kuda-kuda. Mimbar khas masjid ini juga masih menampakkan keaslian, baik bahan maupun hiasannya. Di samping itu, beduk yang digunakan hingga sekarang berukuran panjang 2,5 m dan berdiameter 0,8 meter. Meskipun terletak di tanah yang lebih tinggi dibandingkan lahan sekitarnya, menurut keterangan masyarakat dan keluarga sang ulama, lahan masjid ini awalnya adalah lebak. Kemudian, saat masjid didirikan, dilakukan penimbunan hingga tanahnya mengeras.

Kedua masjid ini dibangun oleh Kiai Masagus Haji Abdul Hamid dengan hasil jerih payahnya sendiri yaitu usaha bisnis sawmill kayu gesek. Kiai Muara Ogan adalah putra seorang bangsawan Palembang, ayahnya Masagus Mahmud merupakan keturunan dari Sultan-sultan Palembang Darussalam. Namun meskipun ia seorang pengusaha sukses dan keturunan bangsawan, Kiai Marogan dikenal sebagai seorang ulama yang zuhud dan tawadhu’ serta suka membantu masyarakat.
Sebelumnya dia menetap di Mekkah Saudi Arabia, tetapi mendapat bisikan untuk kembali ke kampung halaman bersama murid-muridnya, Kiai Merogan menyebarkan agama Islam di Sumatera Selatan dengan menggunakan perahu hingga ke daerah pelosok di Sumatera Selatan. Karena itu pula, selain Masjid Lawang Kidul dan Masjid Kiai Merogan di Palembang serta tiga pemondokan jemaah haji di Saudi Arabia, Kiai Merogan masih memiliki peninggalan berupa masjid di Dusun Pedu Pemulutan OKI, dan masjid di Dusun Ulak Kerbau Lama Pegagan Ilir (OKI). Sayang, kebakaran hebat pernah menghanguskan Kampung Karangberahi antara tahun 1964-1965. Kebakaran ini juga, diduga menghanguskan peninggalan berupa karya tulis Kiai Merogan,
Kiai yang lahir sekitar 1229 H dan meninggal 17 Rajab 1319 H lebih kurang 31 Oktober 1901 dalam usia sekitar 90 tahun dimakamkan di samping masjid Marogan. Gubah atau Makam dengan ukuran 1,75 meter dan lebar 0,82 meter ini, sampai sekarang masih ramai dikunjungi peziarah dari penjuru Sumatera Selatan dan sekitarnya. Makamnya dikeramatkan hingga kini dan dipercaya membawa berkah bagi para peziarah yang memanjatkan doa di makam itu. Setiap tahun tepatnya di bulan Rajab, masyarakat mengadakan acara peringatan haul Kiai untuk mengenang jasa beliau dalam menyebarkan syiar Islam di Sumatera Selatan.
Selain dikenang lewat kedua masjidnya, juga akhlak luhurnya, Kiai Marogan juga memberi pengaruh yang cukup kuat terhadap tradisi masyarakat Palembang seperti kebiasaan para Ibu-ibu ketika menimang-nimang bayi (baca: menidurkan) sambil mendendangkan zikir Lailahaillallahul Malikul Haqqul Mubin Muhammadur Rasulullah Shadiqul Wa’dul Amin. Zikir ini merupakan amalan Kiai Marogan seperti yang dipercaya oleh para orang tua di Palembang.
Saat ini menurut Mgs. A. Fauzi, S.Pd, selaku zuriat dan Pembina Yayasan Kiai Marogan, dalam rangka melanjutkan dakwah sang Kiai, zuriatnya yang tergabung di dalam Yayasan Kiai Marogan (YKM), aktif menggiatkan pengajian agama di kedua masjidnya tersebut seperti pengajian al-Quran, fiqih, dan seterusnya, dan juga kegiatan sosial seperti membagi-bagikan sembako, bantuan dana ZIS kepada para fakir miskin.
Seiring dengan program Visit Musi 2008 yang dicanangkan oleh walikota Palembang dan Gubernur Provinsi Sumatera Selatan, mulai tampak menggeliat kunjungan wisata melalui jalur sungai Musi dengan naik kapal mulai dari Benteng Kuto Besak akan terlihat rumah rakit yang sudah berhias di cat warna warni menuju Masjid Kiai Marogan dilanjutkan ke jembatan Musi II balik kembali terlihat Masjid sang Kiai, menuju Benteng Kuto Besak bila dilanjutkan akan terlihat Masjid Lawang Kidul 5 ilir yang dibangun sang Kiai yang bersebelahan dengan Pelabuhan Boom Baru terus menuju Pulau Kemaro yang juga peninggalan Sang Kiai Marogan.
Dalam menunjang program visit Musi 2008, pemerintah kota Palembang telah menetapkan kedua masjid peninggalan Kiai Marogan sebagai objek wisata ziarah sungai Musi. Saat ini tepat di depan masjid, Pemerintah telah mendirikan Puskesmas terapung untuk menambah daya tarik masjid yang terlihat indah dari tengah sungai Musi.

0 komentar: